Ilmu kedokteran terus berkembang secara dinamis. Untuk itu, diskusi perkembangan dalam keputusan medis terus diwacanakan secara logika teknologi. Bisa dipahami tak ada yang salah bila tindakan keputusan medis diputuskan. Menjadi pilihan terbaik tentu belum bisa diputuskan dan sangat tergantung pada logika berpikir pengambil keputusan atau kelompok pemikir tersebut. Dalam ilmu kedokteran sudah dapat diprediksikan angka harapan hidup seseorang berdasarkan pengalaman, penelitian atau lebih dikenal dengan sebutan ilmiah eviden base medicine (EBM). Kita dapat merekomendasi pasien tak perlu mendapat prioritas pengobatan bila secara medis tidak mungkin disembuhkan. Jadi tidak perlu heran berkembang wacana euthanasia yang masih diperdebatkan oleh para ahli terkait hak hidup dan hak asasi manusia (HAM).
Mari kita berkisah hal lain terkait hak hidup janin di dalam rahim. Sebuah kisah semakin banyak dilaporkan seiring dengan semakin maju teknologi diagnostik alat kedokteran dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Alat sonografi atau USG bisa mendeteksi abnormalitas dari janin. Melalui teknologi laboratorium dari pemeriksaan darah bisa diketahui kelainan kromosom, sehingga dokter bisa memprediksi hal resiko bila janin itu kehamilan dilanjutkan dan dilahirkan.
Untuk kasus seperti itu apa yang dapat dilakukan oleh seorang dokter, dan apa yang seharusnya diceritakan kepada pasangan keluarga itu? Perlu diingat, uji sensitivitas dan spesifisitas tinggi belum tentu diagnostik itu benar, dan untuk hal ini siapa yang akan bertanggung jawab?
Dalam histori pengobatan bayi yang lahir cacat membutuhkan biaya besar dan sangat terkendala bila tidak dibayar oleh asuransi kesehatan. Ini menjadi beban berat bagi sebuah keluarga. Beberapa negara seperti Israel (Yahudi) mengharamkan bayi cacat dilahirkan dengan melakukan skrining kepada wanita hamil di bawah usia 18 minggu. Sehingga ada wacana dokter di era teknologi modern menganjurkan lahirkan segera janin yang diketahui cacat dalam kandungan.
Terminasi kehamilan
Di Indonesia upaya deteksi dini kelainan janin telah dilakukan seiring kemajuan teknologi sonografi dan bertambahnya jumlah dokter ahli kandungan. Malah para ahli hukum kesehatan telah memasukkan klausul aborsi dengan alasan medis dalam UU Kesehatan terkait abortus provokatus medisinalis, yakni evakuasi sebuah hasil konsepsi dengan alasan medis, bisa dengan alasan berbahaya bagi ibu yang mengandung jika kehamilan dilanjutkan. Misalnya, pada kasus ibu sakit jantung berat, atau alasan janin yang cacat dan bila lahir hanya mampu hidup dalam hitungan jam sampai beberapa hari, atau bayi bakal cacat permanen sehingga menambah beban bagi sebuah keluarga. Dalam hukum kesehatan dibenarkan melakukan aborsi/evakuasi dengan syarat telah diputuskan oleh tim terkait bidang ilmu dan rohaniawan.
Masalah adalah bila telat terdeteksi atau janin di kandungan telah berusia di atas 20 minggu atau 5 bulan. Akibatnya, secara teknis medis sulit dilakukan dengan benar dan potensi resiko komplikasi terjadi. Pada akhirnya dokter disalahkan walau tindakan itu telah disetujui dari berbagai resiko yang mungkin terjadi dalam proses evakuasi tersebut (informed concent).
Untuk usia kehamilan di bawah 18 minggu relatif mudah melakukan evakuasi dan ini dilakukan di seluruh dunia. Masalah di Indonesia, wanita hamil sering terlambat diskrining awal dengan USG sehingga kelainan diketahui pada usia kehamilan di atas 20 minggu, dan sering sulit dalam terminasi dan janin sudah keburu besar maka tindakan terminasi yang dipaksakan bila tidak berhasil sering berakibat dilanjutkan dengan tindakan operasi.
Di sini kembali terjadi silang pendapat para dokter ahli, sebagian menganjurkan lahirkan sesuai waktunya, secara normal, berikan hak hidupnya tentu keadaan ini sesuai anjuran Allah Swt (QS. Al-Hajj: 5). Sebagian dokter pro-konservatif berprinsip untuk apa ibu hamil tersebut mendapat risiko kemungkinan dioperasi akibat gagal dalam evakuasi janin tersebut. Di sisi lain para dokter pro-aktif berprinsip untuk apa diberi beban tambahan bagi ibu hamil kalau kita tahu bahwa janin tersebut tak layak hidup.
Di sisi lain sebagai umat yang beragama kita juga terikat dengan firman Allah Swt dalam Alquran: “…selanjutnya kami dudukkan janin itu dalam rahim menurut kehendak kami selama umur kandungan. Kemudian kami keluarkan kamu dari rahim ibumu sebagai bayi…” (QS. Al-Hajj: 5). Pada ayat lain kita juga diminta untuk memcermati firman Allah Swt: “…dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan allah melainkan dengan alasan yang benar.” (QS. Al-Isra: 33).
Bila dicermati dari kedua ayat tersebut, maka seorang dokter diminta untuk berpikir cerdas dalam pilihan terkait evakuasi hasil konsepsi kehamilan ini. Hukum negara sendiri dengan jelas ancaman pidana bagi pelaku abortus krimanalis, sesuai KUHP 346-348.
Deteksi dini
Deteksi dini dalam usia kehamilan di bawah 18 minggu sangat dianjurkan. Merujuk anjuran perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, minimal tiga kali memeriksa kehamilan dengan USG. Tiga kali cek usia kehamilan, yakni trimester pertama untuk melihat perkembangan embrio, usia kehamilan, berada dalam rahimkah dan dugaan ada kelainan; trimester kedua untuk melihat pertumbuhan janin; dan trimester ketiga untuk merencanakan persalinan.
Selama ini, pemeriksaan ke dokter kandungan untuk melihat jenis kelamin dan wajah janin. Jenis pemeriksaan seperti itu hanya aksesori belaka. Bukan pada fungsi sebenarnya alat sonografi diciptakan. Insidensi bayi lahir cacat masih relatif kecil, tak salah bila promosi kesehatan terkait kemungkinan kecacatan pada sebuah kehamilan ditinggkatkan. Apalagi USG sudah masuk desa atau puskesmas.
Last but not least, deteksi dini kelainan bawaan secara sederhana bisa dianjurkan oleh bidan. Mereka meminta pasien untuk melakukan skrining lebih awal pada tiga bulan pertama. Dengan demikian, para tenaga medis tidak perlu ragu memutuskan janin harus segera dilahirkan karena mengandung kecacatan fatal berdasarkan hasil temuan deteksi dini bayi cacat sejak dalam kandungan.